Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di rumah kakeknya dari pihak ayah di kampung Baturono, Solo pada tanggal 20 Maret 1940. Ia merupakan putra sulung dari dua bersaudara dari pasangan Sadyoko dan Sapariah.
Sapardi menjalani masa kecilnya bersamaan dengan berkecamuknya perang kemerdekaan Indonesia. Dalam situasi sulit seperti itu, pemandangan pesawat tempur dan pembakaran rumah sudah biasa dialami Sapardi ketika masih kecil.
Sapardi pernah mengisahkan dalam bukunya, awalnya kehidupan keluarga dari pihak ibunya terbilang berkecukupan, namun keadaan berubah seiring berjalannya waktu, mereka harus menjalani keadaan hidup yang kian sulit. Sapardi teringat, saking susahnya kehidupan, ia hanya makan bubur setiap pagi dan sore.
Demi menafkahi keluarga, ibu Sapardi berjualan buku. Sementara ayahnya memilih pergi, hinggap dari satu desa ke desa yang lain menghindar dari tentara Belanda yang saat itu kerap menangkapi kaum lelaki walaupun bukan seorang pejuang. Ayah Sapardi pun juga bukan seorang pejuang.Sadyoko, ayah Sapardi, awalnya bekerja sebagai abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta mengikuti jejak sang ayah (kakek Sapardi). Setelah menikah, ia menjadi pegawai negeri sipil di Jawatan Pekerjaan Umum.
Kakek Sapardi, selain menjadi abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, ia juga memiliki keahlian membuat wayang kulit. Sapardi dan adiknya, Soetjipto Djoko Sasono, pernah mendapat seperangkat wayang kulit pemberian sang kakek.
Pada tahun 1943, saat itu kekuasaan Belanda atas Indonesia telah berpindah ke tangan Jepang, Sadyoko memutuskan pindah ke kampung Dhawung dan menyewa sebuah rumah di sana.
Kala itu, ibu Sapardi hampir saja direkrut menjadi prajurit tentara Jepang, namun dirinya selamat lantaran tengah mengandung adik Sapardi, Soetjipto.
Pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, keluarga Sadyoko pindah ke Ngadijayan, tinggal di rumah milik orang tua dari Sapariah, istrinya atau ibunda Sapardi.ayangnya, sang kakek (ayah Sapariah) tidak bisa menata hidup dengan baik dan akhirnya rumah itu pun digadaikan tanpa ada pemberitahuan apapun kepada keluarga.
Sampai sang kakek meninggal, rumah yang telah digadaikan itu belum juga ditebus kembali. Akhirnya rumah yang cukup luas itu dilelang dengan harga rendah, uang hasil penjualan dibagi menjadi tiga, untuk ibu Sapardi dan dua pamannya.
Awal Mula Sapardi Tertarik dengan Dunia Sastra
Pada 1957, Sadyoko bersama keluarga memutuskan meninggalkan Ngadijayan dan pindah ke sebuah kampung bernama Kompang. Saat itu, suasana desa itu masih sangat sepi dan belum ada listrik.
Awal-awal tinggal di rumah baru, Sapardi merasa aneh karena tak lagi bisa keluyuran menonton pertunjukan wayang kulit seperti yang sering ia lakukan ketika tinggal di Ngadijayan. Namun lambat laun, ia pun terbiasa dengan suasana baru dan memilih untuk lebih banyak tinggal di rumah.
“Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang yang banyak dan ‘kesendirian’ yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota,” katanya.
Ketika Sapardi menikmati kesendiriannya itu, ia banyak menghabiskan waktu dengan merenung, mengamati berbagai gejala-gejala alam. Di saat-saat itu juga, ia mulai belajar menulis sebagaimana yang pernah ia katakan, “Saya belajar menulis pada bulan November 1957.”
Waktu itu, Sapardi duduk di kelas 2 SMA. Keinginannya menulis berawal dari kegemarannya membaca sejak kecil. Ia sangat menyukai karya-karya sastra dari beberapa pengarang nasional mamupun luar seperti: W.S. Rendra, Karl May, William Saroyan, dan T.S. Eliot.
Untuk ukuran anak SMA, buku drama puisi karya T.S. Eliot memang tak gampang untuk dicerna. Sapardi sendiri pun mengakui kalau ia hanya mampu memahaminya 25% saja.
Pendidikan Sapardi Djoko Damono
Pernah terjadi suatu rumor bahwa Sapardi yang seorang muslim pernah bersekolah di Sekolah Dasar Katolik. Hal itu didasari dengan salah satu karya terjemahan Sapardi, Murder in Cathedral karangan T.S. Eliot yang sangat bernuansa kristiani.
Menurut Sapardi, dugaan bahwa dirinya pernah bersekolah di Sekolah Katolik mungkin didasari dari kumpulan puisi dari buku Duka-Mu Abadi yang banyak mengandung imaji-imaji yang menimbulkan asosiasi kekristenan.Namun kenyataannya, Sapardi menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Kasatrian, sebuah sekolah dasar yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dari kerabat Keraton.
Lulus dari SD, Sapardi meneruskan pendidikan ke SMP 2 di daerah Mangkunegaran dan lulus pada tahun 1955. Setelah lulus, ia melanjutkan ke SMA 2 di Margoyudan dan lulus pada tahun 1958.
Sewaktu SMA, Sapardi bertemu dengan Jeihan Sukmantoro−kini dikenal sebagai seniman lukis−dan menjalin pertemanan dengannya. Hingga kini pun persahabatan mereka masih tetap terjalin dengan baik.
Setamat dari SMA. Sapardi melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Barat (sekarang Sastra Inggris), Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM). Dari catatan itu menunjukkan Sapardi tidak pernah bersekolah di sekolah Katolik maupun Kristen.
Setamatnya dari UGM tahun 1964, Sapardi lanjutkan studi ke Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat (1970-1971) dan memeperoleh gelar doktornya di Universitas Indonesia tahun 1989.
Comments
Post a Comment